Jumat, 01 Januari 2010

Pembiayaan Pendidikan


JAKARTA - Draft naskah akademik Standar Pembiayaan yang hanya mencakup biaya operasional SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA negeri dan swasta yang tengah dibahas dalam uji publik oleh stake holder dinilai sejumlah peserta uji publik terlalu detail atau rinci. Para peserta pun khawatir dengan draft seperti itu akan sulit diterapkan oleh sekolah. Karena itu, sangat disayangkan.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dalam diskusi mengenai paparan tim ahli standar biaya pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menjelang diskusi kelompok sesaat setelah dibuka Ketua BSNP Prof Dr Yunan Yusuf dalam pembukaan Uji Publik Standar Pembiayaan yang diikuti stake holder pendidikan dari seluruh Indonesia, Jumat (15/12).
"Kalau saya pelajari draft naskah akademik standar pembiayaan yang memuat secara begitu rinci pembiayaan sejumlah komponen operasional pendidikan, saya khawatir tidak dapat dilaksanakan di lapangan. Kalau pun bisa, mungkin akan banyak pelanggaran yang dilakukan kepala sekolah atau guru di sekolah," jelas Dr. Fathoni Rozly, peserta dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat.
Menurut dia, seharusnya tim ahli perumus standar pembiayaan BSNP ini tidak menyusun naskah akademik seperti ini. Sebab, akan sulit dilaksanakan oleh kepala sekolah atau guru. Karena itu, perlu direvisi karena dikhawatirkan jika draft naskah akademik ini selesai dibahas dan direkomendasikan kepada pemerintah sebagai peraturan pemerintah atau peraturan menteri akan sangat merepotkan sekolah.
Fathoni juga menyatakan kesalutannya kepada tim ahli yang telah membuat draft naskah akademik ini. Namun dia balik bertanya apakah perbandingan biaya yan diperoleh dari sejumla daerah di Indonesia sudah sangat valid atau sesuai dengan kondisi saat ini. Apalagi kalau dikaitkan dengan komitmen pemerintah daerah terhadap anggaran pendidikan.
Menanggapi masalah ini ketua tim ahli standar biaya pendidikan Dr. Ninasapti Triaswati yang juga dosen pada fakultas ekonomi Universitas Indonesia itu mengatakan, draft naskah akademik ini memang sudah disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari informasi dan data yang diperoleh di lapangan.
Ketua BSNP Yunan Yusuf mengemukakan, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan pendanaan pendidika menjadi tanggunjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, mutlak dikembangkan standar pembiayaan pendidikan. "Pembiayaan pendidikan tersebut mencakup biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal," paparnya.
Biaya investasi pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, biaya pengembangan sumber daya manusia, modal kerja tetap. Selain itu, biaya personal yang harus dikeluarkan tiap peserta didik. (mya)















Comment

Di era globalisasi seperti sekarang ini sudah selayaknya pemerintah lebih mengedepankan masalah pendidikan. Pendidikan merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap orang,baik orang tua ataupun muda,laki-laki maupun perempuan,begitu juga si kaya dan miskin,wajib mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhan. Namun kiranya saat ini justru adalah menjadi sulit sifatnya mendapatkan pendidikan yang seyogianya dibutuhkan.
Seperti diketahui begitu banyak hambatan dan rintangan dalam mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia. Salah satunya yaitu masalah pembiayaan pendidikan itu sendiri. Banyak orang yang putus sekolah hanya karena tidak memiliki biaya untuk tetap mendapat pendidikan yang layak. Pendidikan menjadi mahal sifatnya bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya untuk pendidikan mereka. Padahal sudah sepantasnya pendidikan itu dapat merata sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial diantara masyarakat umum. Kalau diperhatikan saat ini orang lebih dipandang dari tingkat pendidikan yang telah dia lewati. Dalam mencari pekerjaan misalnya,tentunya tingkatan pendidikan akan sangat menentukan posisi,kualitas pekerjaan dan kuantitas pendapatan yang didapatkan. Jadi rasanya sangat tidak adil jika pendidikan saat ini hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang memiliki biaya untuk menjalani pendidikan,sedangkan yang tidak memiliki biaya dipandang sebelah mata.
Lalu sebenarnya kewajiban siapa memberikan pendidikan untuk mereka yang tidak memiliki biaya untuk menjalani pendidikan?. Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tepat untuk memperoleh jawban pasti tentang pembiayaan pendidikan di Indonesia. Menurut pengamatan saya selama ini masyarakat telah salah beropini tentang pembebanan pembiayaan pendidikan,masyarakat berpikir kalau itu adalah kewajiban Negara saja,sehingga masyarakat seakan-akan menutup mata dan telinga mereka dan tidak peduli tentang nasib orang-orang yang tidak beruntung memperoleh pendidikan yang layak.
Sebenarnya kewajiban mereka pula dalam memberikan perhatian bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya untuk mendapatkan pendidikan. Kewajiban mereka bukan hanya mampu menyekolahkan anak-anak mereka,kewaiban mereka tidak gugur dengan hanya karena mampu memberikan pendidikan pada anak mereka sedangkan mereka tidak mempedulikan orang-orang disekitar mereka yang sekiranya memerlukan bantuan biaya untuk pendidikan. Tidak adil rasanya jika orang-orang yang kurang beruntung itu karena hidup dalam kesulitan ekonomi harus menjadi tambah tidak beruntung karena tidak bias mendapat keadilan dalam pendidikan.
Jika kita telah mampu merealisasikan hal ini,kita tidak hanya harus mengandalkan biaya dari pemerintah. Terlebih jika hal ini bias terwujud,kita akan menjadi sosok manusia yang dicintai.
Jangan biarkan orang-orang kaya itu seenaknya meneruskan dinasti kekayaan orang tua mereka.
Sudah selayaknya setiap individu memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jangan biarkan mereka selaku penerus-penerus bangsa kalah bersaing dengan negara lain. Kita harus ciptakan keseimbangan dan pemerataan dalam hal pendidikan di Indonesia.

1 komentar: