Jumat, 01 Januari 2010

Manajemen Berbasis Sekolah


Penerapan MBS dalam Desentralisasi Pendidikan
Pendekatan terbaru yang sedang dipopulerkan oleh Depdiknas ialah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Pendekatan yang merupakan bagian dari otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Dasarnya mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, yang mengisyaratkan perlunya optimalisasi potensi dan partisipasi masyarakat dalam setiap upaya peningkatan mutu pendidikan. Implementasi hal tersebut menarik kita kaji, dalam konteks perbaikan pendidikan di Indonesia. Di saat pemerintah melalui Depdiknas sedang berupaya menggolkan RUU SPN (Sistem Pendidikan Nasional).
Mutu Pendidikan
Kualitas pendidikan Indonesia, sampai saat ini belum memenuhi harapan nasional apalagi standar internasional. Indikator-indikatornya dapat kita amati dari data-data yang ada. Data UNESCO tahun 2000 mengenai Human Development Index yang salah satunya berkaitan dengan peringkat pencapaian pendidikan menunjukan kondisi yang terus menurun. Dari 174 negara, Indonesia menempati posisi ke 102 tahun 1996, ke 99 tahun 1997, ke 107 tahun 1998 dan ke 109 tahun 1999.
Hasil Studi The Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 menginformasikan, dari 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP Indonesia berada di urutan ke 32 untuk IPA dan 34 unuk matematika. Indikator lain, laporan Bank Dunia No. 16369-IND, studi IEA (International Association for The Evaluation of Education Achievment) di Asia Timur menunjukkan keterampilan membaca siswa SD berada pada tingkat terendah. Komparasi skor rata-ratanya 75,5 (Hong Kong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina) dan 51,7 (Indonesia). Kenyataannya, anak Indonesia hanya mampu menguasai 30 % materi bacaan.
Akar Masalah
Rendahnya mutu pendidikan kita, memiliki akar masalah yang kompleks ibarat benang kusut yang sulit terurai. Dari sekian masalah tersebut, dapat kita identifikasi beberapa hal yang cukup signifikan.
1. masalah macro-oriented dalam pengelolaan. Selama ini, kebijakan, peraturan dan sarana diatur secara sentralistik oleh birokrasi di pusat. Implikasinya, banyak variabel yang diproyeksikan secara makro (di tingkat pusat) tidak bisa terealisasikan secara baik di tingkat mikro (sekolah atau kampus).
2. masyarakat sebagai stake holder kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan mikro. Ini menyebabkan sikap skeptis dan acuh tak acuhnya masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Asumsi yang kuat di masyarakat selama ini, pendidikan merupakan urusan pemerintah.
3. pendidikan Indonesia lebih bersifat content base (berdasar isi) dibanding competence base. Kebijakan kurikulum yang selama ini berlangsung, misalnya kurikulum 1994 dan kurikulum 1999 suplemen, sebenarnya tidak layak dijadikan kurikulum nasional. Isinya terlalu banyak dan tidak fokus, selain masalah metodologi. Penyamarataan metodologi bagi seluruh wilayah Indonesia yang heterogen menjadi masalah karena tidak samanya sarana dan prasarana antar daerah itu. Akibatnya, muncul kesenjangan yang lebar antara yang seharusnya dengan yang senyatanya.
4. kita tidak punya standarisasi pengawasan mutu pengajar. Berdasarkan informasi dari Litbang Diknas 33,81 % guru yang sekarang ada tidak layak. Masalah mutu ini juga berkait erat dengan nasib ”umar bakri” yang kehabisan energi dalam mengurusi kondisi ekonomi mereka yang morat-marit. Disatu sisi mereka dituntut untuk memaksimalkan peran, di sisi lain insentif yang menjadi haknya sangat minim.
MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang lengkapnya me-rupakan pendekatan School Base Quality Management merupakan konsep yang menekankan kerja sama erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut konsep ini, sekolah harus mampu menerjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kondisi lingkungannya. Kemudian melalui proses prencanaan, sekolah harus memformulasikan ke dalam kebijakan mikro melalui bentuk-bentuk program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan. Pendekatan ini menekankan kemandirian dan kreativitas sekolah. Sekolah menurut konsep ini memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya, berkaitan dengan masalah-masalah administrasi, keuangan dan fungsi personal setiap sekolah di dalam arah dan kebijakan yang telah dirumuskan.
Strategi MBS harusnya dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan penyusunan basis data dan profil sekolah yang lebih presentif, akurat, valid dan secara sistematis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif dan keuangan. Tahap selanjutnya melakukan evaluasi diri (self assessment) untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sumber daya sekolah dalam mencapai target kurikulum. Berdasarkan analisa tersebut, sekolah mengidentifikasi kebutuhan dan merumuskan visi, misi dan tujuan. Penyusunan program jangka panjang dan jangka pendek termasuk anggarannya merupakan langkah selanjutnya. Satu tahap diatas penyusunan prioritas yang seringkali tidak terealisir dalam waktu satu tahun program sekolah, harus dibuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci dan prioritas kebijakan. Tahap yang juga penting adalah monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat terlaksana atau tidak.
Sebenaranya konsep MBS ini dapat juga diadopsi dalam pengembangan pendidikan tinggi. Dengan adanya kebijakan otonomi kampus, terbuka kesempatan memproduksi, mereproduksi dan mendistri-busikan berbagai potensi dan kelebihan yang dipunyai oleh masing-masing kampus dengan meminimalisasi berbagai kurikulum dan metodologi yang tidak sesuai. Kampus akan menjadi ”kawah candradimuka” yang lepas dari intervensi berbagai pihak.
Berbasis Kompetensi
Satu hal yang menarik kita cermati dari konsep desentralisasi pendidikan adalah disosialisasikannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Yang mengharuskan sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan silabus dan proses penyampaiannya. Untuk melihat progres pencapaian kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup kemampuan afektif, kognitif dan psikomotoriknya. Berbasis kompetensi bisa dimaknai peningkatan relevansi. Dikatakan relevan dengan kehidupan nyata apabila pendidikan memang kompeten menumbuh kembangkan minat, bakat dan kemampuan yang bisa diaktualisasikan di masyarakat. Masalah kurikulum baik di sekolah maupun di kampus yang menggelembung dan kedodoran itu sebaiknya diefisienkan dengan tatap mengacu pada pemerataan kesempatan dan peningkatan kualitas. Pendidikan yang baik menghasilkan life skill education. Yakni kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan. Banyak sekarang lulusan SMU dan parguruan tinggi yang tidak layak pakai karena mereka tidak memiliki kompetensi.
Pendidikan Partisipatif
Pendidikan Indonesia seyogianya mengadopsi pola partisipatif. Bukan menciptakan homo machanicus yang tersubordinasi dalam kesadaran palsu. Pendidikan tentu bukan ideological apparatus, yang mewakili kepentingan pencangkokan ideologi demi hegemoni rezim politik tertentu. Juga bukan semata agen kapitalisme yang mengkomersialisikan pendidikan di bawah cengkraman kapitalisme. Pendidikan merupakan media internalisasi kesadaran kritis manusia atas realitas. Biarlah pendidikan saat ini, menjadi pendidikan yang membebaskan. Tapi pemikiran ini bukannya menjadikan pemerintah melalui diknasnya bisa melepas tanggung jawab begitu saja. Harus ada sinergi antarelemen di dalam masyarakat.
di post oleh eko kurniawan
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar