Jumat, 01 Januari 2010

Pendidikan Nasional Yang Bermoral

Senin, 23 Juni 2008

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL

Oleh Amirul Mukminin
 
Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian di dalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan perilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
 
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi? Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang-menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini? atau inikah akibat perilaku para pejabat kita?
 
Di lain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahannya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan parahnya, era-reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi ini akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
 
Perlu pendidikan yang bermoral.
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkinkan hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
 
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataannya demikian di masyarakat).
Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangkan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
 
Pendidikan nasional selama ini telah mengenyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Tapi kenyataannya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislatif, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar, anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
 
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
 
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
 
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral). Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggungjawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya. Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai di dunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
 
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, disiplin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin-plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
 
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas.
Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan. Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
 
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari pengguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
 
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan.
Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju ke depan untuk mencatat di papan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memanggil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
 
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
 
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
 
Contoh lain lagi, seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les di rumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan perbedaan.
 
Pejabat harus segera berbenah diri dan mengubah perilaku.
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislatif, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.
 
Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan, bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi muda saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan. Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
 
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawa kemana negara ini ke depan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tarif air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
 
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggungjawab. Konsekuensinya, semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.
 
Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislatif, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini ke depan.
 
 
 
Menurut pendapat saya tentang artikel ini, pendidikan nasional yang bermoral, yaitu apapun yang kita contohkan kepada adik-adik kita atau untuk orang tua untuk anak-anak, dan pejabat-pejabat untuk rakyat-rakyatnya pasti akan dicontoh bahkan ditiru tingkah laku kita, seperti peribahasa Indonesia jatuhnya buah tidak jauh dari pohonnya. Mungkin sebenarnya kita melarang mereka untuk tidak dan jangan berbuat arogan, bohong, egois, tidak mempunyai tata krama, sopan santun, dan lain sebagainya, tapi apa daya mereka melakukan itu lagi.
Dan saya sependapat dengan Amirul Mukminin, penulis artikel ini, yang mana isi pendapatnya saya kutip sebagian adalah “Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian di dalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan perilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat. Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi? Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang-menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini? atau inikah akibat perilaku para pejabat kita?.....”
Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini, khususnya saya? Oleh sebab itu, mungkin salah satu caranya yaitu dengan mengubah perilaku jelek kita dengan menjadi perilaku yang baik. Dan di artikel ini pun tertulis bagaimana kita sebagai penerus bangsa seharusnya bersikap, begitu pula dengan pejabat, guru, dan dosen dalam mengambil nilai dan tindakan lainnya. Dalam benak saya mengapa mereka begitu galak kepada anak didiknya, dan begitu curangnya dalam menilai? Apakah mereka tidak punya hati nurani dan moral? Apakah mereka tidak berpikir bagaimana bila anak, keponakan atau saudara mereka mengalami hal tersebut? Betapa sedihnya saya melihat oknum sekarang, yang gampang menerima suap atau amplop, bertindak kasar kepada anak didik, dan anak didik yang anarkis. Mari kita ubah bangsa kita, Indonesia , menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Dengan mengubah perilaku sendiri menjadi generasi penerus yang mempunyai tata krama, sopan santun, moral, dan lain sebagainya.

Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan

Judul: Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian SISTEM PENDIDIKAN / EDUCATION SYSTEM.
Nama & E-mail (Penulis):
Ameliasari Tauresia Kesuma, SE
Saya Guru di MAN Salatiga
Topik: Sistem Pendidikan Indonesia
Tanggal: 13 Agustus 2006

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA MEMPRIHATINKAN

Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya. Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.

Terus terang dalam hal ini saya lebih senang menyalahkan sistem pendidikan Indonesia, sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stress yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandardisasi.

Saya yakin Allah menciptakan manusia tidak ada yang bodoh, yang ada adalah kita terlambat mengetahui kecenderungan kompetensi mereka, dari kecil mereka sudah dikondisikan kalau tidak boleh dibilang dipaksa, untuk melakukan atau mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan psikologi mereka.

Menurut saya mendidik adalah mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupan nyata, kehidupan nyata adalah kehidupan dimana mereka sudah tidak lagi bergantung pada orang tua, kehidupan dimana mereka dapat menyelesaikan sendiri segala masalah yang mereka hadapi dengan bijaksana.

Saya jadi ingat petikan tulisan pada buku "Sekolah itu Candu": Pendidikan harus berorientsi kepada pengenalan realitas, yang obyektif maupun subyektif karena kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah fungsi dialektis dalam diri manusia sehubungan dengan kenyataan yang sering bertentangan yang harus dipahami dan dihadapinya. Proses pendidikan adalah memanusiakan manusia.

Kembali lagi dengan masalah UN, kompetensi manusia tidak bisa distandardisasi dan di rangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kalaupun mau dipaksakan ada standardisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu, standardisasi dikenakan pada kelompok yang memiliki kompetensi dasar sama, itu baru adil.

Sesungguhnya banyak sekali pemerhati pendidikan di Indonesia yang sudah menyadari hal ini, banyak sekali tulisan-tulisan mereka, baik pada artikel-artikel pendidikan, bahkan buku-buku pendidikan, namun pemerintah seolah menutup mata akan ide-ide cemerlang mereka. Sistem pendidikan kita adalah alat pemuas kebutuhan pemerintah, dan orang tua, bukan sistem yang dibuat sesuai kebutuhan siswa. Siswa secara tidak sadar dibelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang ditanamkan orang tua dan pemerintah bahkan guru, padahal mereka manusia merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri.

Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-anak mereka, seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya. Menarik rasanya membaca tulisan Roem ini: "Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang".

Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya. Tidak bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk mencari gelar??.

Pada siswa, pertama kali yang saya tanyakan ketika masuk kelas adalah apa kesukaan mereka dan apa keinginan mereka, berbagai macam jawaban terlontar disana, dan sebagian besar dari mereka memiliki keinginan yang ditentang oleh orang tua. Memprihatinkan bukan? Ada seorang siswa saya yang suka kebut-kebutan di jalan, dimarahilah dia habis-habisan? Pernahkan orang tua menanyakan mengapa mereka melakukan itu? Siswa saya ini sebenarnya sangat mahir memodifikasi motor. Sesungguhnya bisa kan orang tua berdiskusi mencari solusi terbaik, tanpa memarahinya habis-habisan.

Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Indonesia harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing siswa, bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. Ubo rampe yang lain seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.

Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia .

Saya Ameliasari Tauresia Kesuma, SE setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
Saya sependapat dengan pendapat Ameliasari Tauresia Kesuma, SE, karena menurut saya sistem pendidikan di Negara Indonesia tercinta ini sangat memprihatinkan. Yang didukung dengan perkembangan pendidikan akhir-akhir ini. Dengan pendapat di atas dijelaskan bahwa “sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya. Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa ………....” ini merupakan salah satu bukti yang dirasakan oleh Ameliasari dan saya pun merasakan hal yang sama saat bersekolah dulu hinggga sekarang, bahkan adik-adik saya yang sekarang baru kelas satu SMP dan SMK pun juga ikut merasakan hal tersebut. Saat ada keinginan untuk protes atau tidak setuju, tidak ada yang dapat kami lakukan, hanya melihat adik yang kebingungan belajar dalam waktu ujian tiba, yang dapat saya lakukan adalah hanya membantunya dalam menghapal dan tes-tes kecil untuk mengasah kemampuannya.
Dan saat pelajaran telah selesai atau naik kelas dan tingkat terkadang kita pun lupa materi-materi sebelumnya karena saking banyaknya pelajaran yang dipelajari. Atau apakah sebenarnya kita kurang belajar? Saya sendiri pun masih bingung dengan sistem pendidikan di Negara Indonesia yang dikatakan menurut saya bertele-tele, mengapa? Karena belajar dari play group mungkin, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi dirasa terkadang menjemukkan, membosankan, dan sebagainya.. Sehingga banyak teman-teman saya yang mabal, kabur, atau bolos sekolah, nakal dan lainnya. Mereka terlahir bukan dari orang yang terpandang dan terpelajar, bahkan mempunyai kedudukan. Banyak kasus-kasus pendidikan seperti di atas yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari kita bukan? Oleh sebab itu, mari kita ubah sistem pendidikan kita, tidak hanya pada sistem pendidikan tetapi juga pada tenaga-tenaga pendidik.

Sistem Pendidikan Nasional


Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

.: Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas:
1. pendidikan formal,
2. nonformal, dan
3. informal.

Jalur Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. pendidikan dasar,
2. pendidikan menengah,
3. dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup:
1. pendidikan umum,
2. kejuruan,
3. akademik,
4. profesi,
5. vokasi,
6. keagamaan, dan
7. khusus.

Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas:
1. pendidikan menengah umum, dan
2. pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. institut, atau
5. universitas.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi:
1. pendidikan kecakapan hidup,
2. pendidikan anak usia dini,
3. pendidikan kepemudaan,
4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
5. pendidikan keaksaraan,
6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7. pendidikan kesetaraan, serta
8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1. Taman Kanak-kanak (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

.: Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

.: Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk:
1. pendidikan diniyah,
2. pesantren,
3. pasraman,
4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.


.: Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR ISTILAH

Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional adalah Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peserta didik adalah Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Jalur pendidikan adalah Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenjang pendidikan adalah Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenis pendidikan adalah Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Satuan pendidikan adalah Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan formal adalah Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal adalah Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal adalah Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan anak usia dini adalah Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan jarak jauh adalah Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Standar nasional pendidikan adalah Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib belajar adalah Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Warga Negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat adalah Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.


Sumber : http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/05/sistem-pendidikan-nasional.html

DISAPPOINTED EDUCATION



I don’t know why this situation happened. When I was at Elementary School,my teachers teached me about education justice,about how the government always give fair chance for all people in ths country to get standard education. People shall have good capability and quality to compete with others people. But the fact is so contradictive. There are so much people jobless,they don’t have any skill,they know nothing about the expansion of technology,they know nothing about english. Whereas both of technology and English,are the most important skills to have in this globalization era.

I think the government was failed to give justice for the society. For example,in my living area,there was an embarrassing incident,that I think was the real proof of the government fail. There was a little girl,she came from a poor family condition,she’s about 6,5 years old,of course it was right time for her to go to school,is it right?yes absolutely. Her father went to school to make her name listed. Finally she could go to school. At the first day,she was so happy,she had new friends,her smile was so smooth,amazing so much. But after 3 days,her teacher ordered the students to buy some books,they called the books “LKS”,these books should be buy by them,it’s price about RP.250.000. Realize that her father won’t possible to buy it,finally she should be sincere to stop go to school.

Government,come on….is this condition that you call success?????
Honestly,I feel disappointed with this system. I know that school fee was free,but how about the facility?we need that. My suggestion,government give free facility,with cheap cost.
Get the quantity with the best quality.

Manajemen Berbasis Sekolah


Penerapan MBS dalam Desentralisasi Pendidikan
Pendekatan terbaru yang sedang dipopulerkan oleh Depdiknas ialah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Pendekatan yang merupakan bagian dari otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Dasarnya mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, yang mengisyaratkan perlunya optimalisasi potensi dan partisipasi masyarakat dalam setiap upaya peningkatan mutu pendidikan. Implementasi hal tersebut menarik kita kaji, dalam konteks perbaikan pendidikan di Indonesia. Di saat pemerintah melalui Depdiknas sedang berupaya menggolkan RUU SPN (Sistem Pendidikan Nasional).
Mutu Pendidikan
Kualitas pendidikan Indonesia, sampai saat ini belum memenuhi harapan nasional apalagi standar internasional. Indikator-indikatornya dapat kita amati dari data-data yang ada. Data UNESCO tahun 2000 mengenai Human Development Index yang salah satunya berkaitan dengan peringkat pencapaian pendidikan menunjukan kondisi yang terus menurun. Dari 174 negara, Indonesia menempati posisi ke 102 tahun 1996, ke 99 tahun 1997, ke 107 tahun 1998 dan ke 109 tahun 1999.
Hasil Studi The Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 menginformasikan, dari 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP Indonesia berada di urutan ke 32 untuk IPA dan 34 unuk matematika. Indikator lain, laporan Bank Dunia No. 16369-IND, studi IEA (International Association for The Evaluation of Education Achievment) di Asia Timur menunjukkan keterampilan membaca siswa SD berada pada tingkat terendah. Komparasi skor rata-ratanya 75,5 (Hong Kong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina) dan 51,7 (Indonesia). Kenyataannya, anak Indonesia hanya mampu menguasai 30 % materi bacaan.
Akar Masalah
Rendahnya mutu pendidikan kita, memiliki akar masalah yang kompleks ibarat benang kusut yang sulit terurai. Dari sekian masalah tersebut, dapat kita identifikasi beberapa hal yang cukup signifikan.
1. masalah macro-oriented dalam pengelolaan. Selama ini, kebijakan, peraturan dan sarana diatur secara sentralistik oleh birokrasi di pusat. Implikasinya, banyak variabel yang diproyeksikan secara makro (di tingkat pusat) tidak bisa terealisasikan secara baik di tingkat mikro (sekolah atau kampus).
2. masyarakat sebagai stake holder kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan mikro. Ini menyebabkan sikap skeptis dan acuh tak acuhnya masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Asumsi yang kuat di masyarakat selama ini, pendidikan merupakan urusan pemerintah.
3. pendidikan Indonesia lebih bersifat content base (berdasar isi) dibanding competence base. Kebijakan kurikulum yang selama ini berlangsung, misalnya kurikulum 1994 dan kurikulum 1999 suplemen, sebenarnya tidak layak dijadikan kurikulum nasional. Isinya terlalu banyak dan tidak fokus, selain masalah metodologi. Penyamarataan metodologi bagi seluruh wilayah Indonesia yang heterogen menjadi masalah karena tidak samanya sarana dan prasarana antar daerah itu. Akibatnya, muncul kesenjangan yang lebar antara yang seharusnya dengan yang senyatanya.
4. kita tidak punya standarisasi pengawasan mutu pengajar. Berdasarkan informasi dari Litbang Diknas 33,81 % guru yang sekarang ada tidak layak. Masalah mutu ini juga berkait erat dengan nasib ”umar bakri” yang kehabisan energi dalam mengurusi kondisi ekonomi mereka yang morat-marit. Disatu sisi mereka dituntut untuk memaksimalkan peran, di sisi lain insentif yang menjadi haknya sangat minim.
MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang lengkapnya me-rupakan pendekatan School Base Quality Management merupakan konsep yang menekankan kerja sama erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawab masing-masing. Menurut konsep ini, sekolah harus mampu menerjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kondisi lingkungannya. Kemudian melalui proses prencanaan, sekolah harus memformulasikan ke dalam kebijakan mikro melalui bentuk-bentuk program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan. Pendekatan ini menekankan kemandirian dan kreativitas sekolah. Sekolah menurut konsep ini memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya, berkaitan dengan masalah-masalah administrasi, keuangan dan fungsi personal setiap sekolah di dalam arah dan kebijakan yang telah dirumuskan.
Strategi MBS harusnya dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan penyusunan basis data dan profil sekolah yang lebih presentif, akurat, valid dan secara sistematis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif dan keuangan. Tahap selanjutnya melakukan evaluasi diri (self assessment) untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sumber daya sekolah dalam mencapai target kurikulum. Berdasarkan analisa tersebut, sekolah mengidentifikasi kebutuhan dan merumuskan visi, misi dan tujuan. Penyusunan program jangka panjang dan jangka pendek termasuk anggarannya merupakan langkah selanjutnya. Satu tahap diatas penyusunan prioritas yang seringkali tidak terealisir dalam waktu satu tahun program sekolah, harus dibuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci dan prioritas kebijakan. Tahap yang juga penting adalah monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat terlaksana atau tidak.
Sebenaranya konsep MBS ini dapat juga diadopsi dalam pengembangan pendidikan tinggi. Dengan adanya kebijakan otonomi kampus, terbuka kesempatan memproduksi, mereproduksi dan mendistri-busikan berbagai potensi dan kelebihan yang dipunyai oleh masing-masing kampus dengan meminimalisasi berbagai kurikulum dan metodologi yang tidak sesuai. Kampus akan menjadi ”kawah candradimuka” yang lepas dari intervensi berbagai pihak.
Berbasis Kompetensi
Satu hal yang menarik kita cermati dari konsep desentralisasi pendidikan adalah disosialisasikannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Yang mengharuskan sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan silabus dan proses penyampaiannya. Untuk melihat progres pencapaian kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup kemampuan afektif, kognitif dan psikomotoriknya. Berbasis kompetensi bisa dimaknai peningkatan relevansi. Dikatakan relevan dengan kehidupan nyata apabila pendidikan memang kompeten menumbuh kembangkan minat, bakat dan kemampuan yang bisa diaktualisasikan di masyarakat. Masalah kurikulum baik di sekolah maupun di kampus yang menggelembung dan kedodoran itu sebaiknya diefisienkan dengan tatap mengacu pada pemerataan kesempatan dan peningkatan kualitas. Pendidikan yang baik menghasilkan life skill education. Yakni kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan. Banyak sekarang lulusan SMU dan parguruan tinggi yang tidak layak pakai karena mereka tidak memiliki kompetensi.
Pendidikan Partisipatif
Pendidikan Indonesia seyogianya mengadopsi pola partisipatif. Bukan menciptakan homo machanicus yang tersubordinasi dalam kesadaran palsu. Pendidikan tentu bukan ideological apparatus, yang mewakili kepentingan pencangkokan ideologi demi hegemoni rezim politik tertentu. Juga bukan semata agen kapitalisme yang mengkomersialisikan pendidikan di bawah cengkraman kapitalisme. Pendidikan merupakan media internalisasi kesadaran kritis manusia atas realitas. Biarlah pendidikan saat ini, menjadi pendidikan yang membebaskan. Tapi pemikiran ini bukannya menjadikan pemerintah melalui diknasnya bisa melepas tanggung jawab begitu saja. Harus ada sinergi antarelemen di dalam masyarakat.
di post oleh eko kurniawan
Sumber:

Standar Kelulusan


KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yaitu sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan.
KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi pada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan, khususnya kurikulum.
Pada sistem KTSP, sekolah memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan satuan pendidikan. Untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan tersebut, sekolah dituntut untuk mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam indikator kompetensi, mengembangkan strategi, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah. Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, serta komite sekolah dan dewan pendidikan.
Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian. Dengan demikian, dapat dikemukakan beberapa karakteristik KTSP sebagai berikut.
1. Pemberian otonomi luas pada sekolah dan satuan pendidikan.
2. Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi.
3. Kepemimpinan yang demokratis dan profesional.
4. Tim kerja yang kompak dan transparan.
Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar penilaian pendidikan. Dari delapan standar tersebut, yang telah dijabarkan dan disahkan penggunaannya oleh Mendiknas adalah standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi lulusan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
(dikutip dari Dr. E. Mulyasa, M.Pd., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, 2007)



Comment

Pendidikan selayaknya merupakan prasyarat utama bagi seseorang dalam meraih sebuah kesuksesan. Orang yang serius dalam menjalani pendidikannya biasanya akan memperoleh hasil yang sesuai dan setimpal dengan usahanya.Setiap jenjang pendidikan diibaratkan sebagai sebuah tes yang harus dilalui. Setiap jenjang pendidikan yang dilalui akan menentukan kualitas mindset kita,apakah terjadi peningkatan atau justru stabil saja.
Untuk dapat melalui tiap jenjang pendidikan,tentunya harus dapat melalui setiap standarisasi penilaian. Dengan mampu melampaui setiap jenjang penilaian,bisa dijadikan acuan untuk menentukan layak tidaknya kita untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Dalam proses pembudayaan umat manusia,adanya kelembagaan pendidikan dalam masyarakat condition qua non (syarat mutlak) dengan tugas yang dan tanggung jawabnya yang cultural edukatif terhadap anak didik dan masyarakat yang semakin berat. Begitu pula harus adanya lembaga yang mengurus hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan standarisasi pendidikan yang telah ada. Salah satu tugas pokok lembaga tersebut memberikan kompas atau arah dari tujuan pendidikan. Suatu tujuan kependidikan yang hendak dicapai harus direncanakan (diprogramkan) dalam apa yang disebut kurikulum.
Antara tujuan dan program harus ada kesesuaian atau kesinambungan. Tujuan yang hendak dicapai harus tergambar didalam program yang tertuang didalam kurikulum,bahkan program itulah yang mencerminkan arah dan tujuan yang diinginkan dalam proses kependidikan. Oleh karena itu kurikulum adalah faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga kependidikan. Segala hal yang harus diketahui atau diresapi serta dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum itu. Juga segala hal yang harus diajarkan oleh pendidik dan anak didiknya harus dijabarkan didalam kurikulum.
Seiring dengan berjalannya kurikulum,maka akan tercipta standarisasi yang berkualitas dalam proses pendidikan yang berlangsung.

SISTEM BELAJAR YANG EFEKTIF


Sebenarnya sistem belajar yang seperti apa sih yang sesuai dengan karakter pelajar di Indonesia?,mungkin akan banyak opini yang menyeruak,namun kiranya semua opini tersebut akan bermuara ke satu titik,yaitu kenyamanan belajar. Semua kegiatan akan terasa begitu menyenangkan jika kita dalam keadaan nyaman dan tidak merasa bosan atau penat.
Menurut pandangan saya,sebenarnya karakter pelajar di Indonesia hampir serupa,yaitu lebih tertarik pada sistem tutor sebaya yang seyogianya membuat mereka selaku pelajar mampu menuangkan pendapat mereka masing-masing dan menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mereka cari. Selain itu mereka dapat menghiasi kegiatan belajar mereka dengan intermezzo yang sesuai dengan diri mereka tanpa harus canggung atau bahkan takut seperti ketika diajar oleh guru yang usianya jauh lebih tua dari mereka.
Sistem tutor sebaya juga akan akan memberikan tingkat pemahaman yang jauh lebih baik ketimbang belajar seperti biasa disekolah. Sikap guru yang seolah acuh terhadap kualitas pemahaman materi yang dimiliki siswa memperburuk kinerja otak siswa dalam mencerna materi yang diberikan. Lain halnya dalam sistem tutor sebaya,sang tutor pasti akan selalu menanyakan apakah yang diajarkan mengerti semua yang diajarkan,sang tutor akan lebih mementingkan kualitas pemahaman ketimbang kuantitasnya.
Jadi mulai saat ini hendaklah kita galang solidaritas selaku pelajar,jangan hanya mementingkan diri sendiri. Jika ada teman kita yang memerlukan bantuan dalam memahami pelajaran,hendaklah kita dengan ikhlas membantu. Tenang saja,ilmu kalian tidak akan berkurang,tapi justru akan bertambah.Amien….